Jumat, 23 November 2012

HPLC (High Performance Liquid Chromatography)



PENELITIAN MENGENAI KEBERADAAN BIOTOKSIN PADA BIOTA DAN LINGKUNGAN PERAIRAN TELUK JAKARTA
ABSTRAK
Penelitian dilakukan di perairan pantai Teluk Jakarta yaitu sekitar Muara Angke, Muara Dadap, Cilincing dan Tanjung Pasir. Untuk mengetahui kadar biotoksin seperti paralytic shellfish poisoning (PSP) dan diarrhetic shellfish poisoning (DSP) pada biota laut, dilakukan bioassay dan analisis HPLC. Parameter pendukung yang diamati adalah kondisi fisik seperti suhu, salinitas, pH, kecepatan dan arah arus, kecerahan dan kedalaman laut, nilai DO dan BOD; kandungan zat hara (nitrat, nitrit, fosfat, ammonia dan sulfur); dan plankton (jenis dan kelimpahan). Pengamatan dilakukan dua kali dalam setahun yaitu bulan Mei dan Oktober 2001, pada 9 titik yaitu 1, 2 dan 3 mil dari garis pantai dan pada masing-masing titik diambil 1 mil ke kanan dan 1 mil ke kiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan jumlah plankton ternyata dipengaruhi oleh kondisi zat hara. Jenis fitoplankton yang dominan adalah Chaetocheros. Jenis plankton yang potensial sebagai penyebab harmful algal bloom (HAB) yang terdapat di perairan Teluk Jakarta adalah dari filum dinoflagellata seperti: Ceratium, Dynophysis, Ganyaulax, dan Gymnodium. Dari filum Bacillariophyceae adalah genus Nitzchia, Chaetocheros dan Thalassiosira, sedangkan dari filum Cyanophyceae adalah genus Trichodesmium. Kandungan paralytic shellfish poisoning (PSP) dari kerang berdasarkan uji bioassay, tidak menyebabkan kematian. Contoh kerang mengandung saxitoxin sekitar 2,1-2,3 ì g/100 g. Kandungan okadaic acid pada kerang dan ikan karang berkisar antara 0,05-0,1 ì g/100 g. Pada ikan karang, kandungan toksin lebih banyak terdapat pada isi perut dibandingkan pada daging ikan. Namun demikian, kandungan saxitoxin dan okadaic acid pada kerang dan ikan tersebut masih dibawah ambang yang diijinkan.
ABSTRACT : Research on biotoxin appearance in biota and waters environment of Teluk Jakarta. By: Mulyasari, Rosmawaty Peranginangin, Th. Dwi Suryaningrum and Abdul Sari 


PENDAHULUAN
Faktor utama pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton adalah ketersediaan zat hara dan sinar matahari. Sebagai produsen primer, fitoplankton membutuhkan zat hara dalam bentuk senyawa anorganik, seperti nitrogen dan fosfat. Dalam kondisi zat hara yang berlimpah dan ditunjang oleh factor lingkungan lain yang optimal, fitoplankton dapat tumbuh sangat melimpah. Pada perairan eutrof, umumnya ditunjukkan dengan densitas komunitas fitoplankton yang tinggi, bahkan melampaui rata-rata kondisi eutrofik yang disebut “blooming fitoplankton” (Basmi, 1994). Terjadinya blooming fitoplankton mikroskopis yang hidup di lingkungan perairan dapat menimbulkan dampak negatif. Blooming fitoplankton dapat menyebabkan kematian ikan akibat kekurangan oksigen, pembusukan atau produksi biotoksin sepertiPSP (Paralytic Shellfish Poisoning),  iguatera, tetradotoksin, DSP (diarrhetic shellfish poisoning) NSP (neurotoxic shellfish poisoning),dan ASP (amnesic hellfish poisoning). Jika manusia mengkonsumsi ikan yang mengandung biotoksin, dapat mengalami keracunan bahkan kematian. Di samping itu adanya produk perikanan yang mengandung toksin dapat pula menyebabkan kerugian materi yang sangat besar bagi petambak dan nelayan. PSP adalah toksin dari fitoplankton jenisAlexandrium (Protogonyaulax) tamarense, A. catenella, Pyrodinium bahamense var compressum dan Gymnodium catenatum   teidinger, 1996). Menurut Setiapermana (1992) dan Praseno (2000), jenis Pyrodinium bahamense var compressum, merupakan jenis dari daerah tropis dengan demikian kemungkinan besar dapat dijumpai di perairan Indonesia. PSP banyak ditemukan dalam kerang pemakan jenis fitoplankton dinoflagellata, ditemukan dalam bentuk alkaloid yang bersifat racun bagi sistem syaraf. Toksin tersebut dikenal dengan nama saxitoxin. Manusia yang terkena racun saxitoxin  enunjukkan gejalagejala keracunan seperti wajah, bibir, dan lidah terasa terbakar, dan terus menjalar ke bagian leher, tangan, jari tangan, kaki dan jari kaki, kepala pening, nyeri otot dan berpeluh. Kemudian timbul mati rasa pada anggota badan tersebut, serangan jantung dan kegagalan sistem pernafasan. Proses keracunan ini dapat terjadi dalam waktu 3 sampai 12 jam. Konsentrasi toksin yang dapat menyebabkan keracunan adalah 80 ug/100 gram daging kerang.

DSP disebabkan oleh toksin yang berasal dari fitoplankton jenis Dinophysis fortii, D. acuminata, Prorocentrum lima, D. novergica, D.tripos, D. caudata, D. acuta, D. mitra, atau Phalacroma rotudantum (Steidinger, 1993). Toksin menyebabkan gangguan pencernaan akut dengan gejala diare, muntah, kejang perut dan kedinginan. Toksin berasal dari sejenis polycyclic ether seperti asam okadat dan turunannya, pectenotoxin dan turunannya, dan yessotoxin dan turunannya (Steidinger,1993). Asam okadat merupakan inhibitor bagi enzim phosphatase 1 dan 2A (PP-1 dan PP-2A)  Setiapermana, 1992). DSP tidak menyebabkan kematian dan biasanya berangsur sembuh dalam waktu 3-4 hari.
            Ciguatera fish poisoning (CFP) umumnya diakibatkan oleh jenis fitoplankton Gambierdiscus toxicus yang termakan oleh jenis ikan yang hidup di terumbu karang. Gambierdiscus toxicus mengeluarkan senyawa toksin yang dikenal sebagai ciguatoxin dan maitotoxin. Senyawa ini kemudian terakumulasi dalam tubuh ikan dan jika dikonsumsi oleh manusia dapat mengganggu sistem pencernaan  sistem syaraf dan sistem peredaran darah. Gejala keracunannya adalah diare, muntah, nyeri pada bagian perut yang diikuti dengan tidak berfungsinya sistem syaraf, pening, nyeri otot, berpeluh, mati rasa pada mulut dan jari tangan. Pada kasus yang serius, gejala ini dapat diikuti dengan kehilangan tenaga dan kematian.
Terjadinya blooming fitoplankton atau yang dikenal sebagai red tide di Indonesia belum tercatat dengan baik. Berbagai peristiwa yang memberikan indikasi bahwa red tide pernah terjadi di perairan Indonesia (Setiapermana, 1992) adalah di perairan Lampung (Juli-September 1991), Teluk Jakarta, Sebatik-Kaltim (9 Januari 1988), Ujung Pandang-SulSel dan Lewotobi- NTT (24 November 1983). Mengingat demikian berbahayanya senyawa biotoksin yang dapat menyebabkan kematian pada manusia maka diperlukan penelitian untuk mendapatkan informasi sejauh mana senyawa ini terdapat di perairan dan biota perairan Indonesia.








 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar