PENELITIAN
MENGENAI KEBERADAAN BIOTOKSIN PADA BIOTA DAN LINGKUNGAN PERAIRAN TELUK JAKARTA
ABSTRAK
Penelitian dilakukan di perairan pantai Teluk Jakarta yaitu
sekitar Muara Angke, Muara Dadap, Cilincing dan Tanjung Pasir. Untuk mengetahui
kadar biotoksin seperti paralytic shellfish poisoning (PSP) dan diarrhetic shellfish poisoning (DSP) pada biota
laut, dilakukan bioassay dan analisis HPLC. Parameter pendukung yang
diamati adalah kondisi fisik seperti suhu, salinitas, pH, kecepatan dan arah
arus, kecerahan dan kedalaman laut, nilai DO dan BOD; kandungan zat hara (nitrat, nitrit, fosfat, ammonia dan sulfur); dan plankton
(jenis dan kelimpahan). Pengamatan dilakukan dua kali dalam setahun yaitu bulan
Mei dan Oktober 2001, pada 9 titik yaitu 1, 2 dan 3 mil dari garis pantai dan
pada masing-masing titik diambil 1 mil ke kanan dan 1 mil ke kiri. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kenaikan jumlah plankton ternyata dipengaruhi oleh
kondisi zat hara. Jenis fitoplankton yang dominan adalah Chaetocheros. Jenis
plankton yang potensial sebagai penyebab harmful algal bloom (HAB) yang
terdapat di perairan Teluk Jakarta adalah dari filum dinoflagellata seperti: Ceratium,
Dynophysis, Ganyaulax, dan Gymnodium. Dari filum Bacillariophyceae
adalah genus Nitzchia, Chaetocheros dan Thalassiosira, sedangkan
dari filum Cyanophyceae adalah genus Trichodesmium.
Kandungan paralytic shellfish poisoning (PSP) dari kerang berdasarkan
uji bioassay, tidak menyebabkan kematian. Contoh kerang mengandung saxitoxin
sekitar 2,1-2,3 ì g/100 g. Kandungan okadaic acid pada kerang dan
ikan karang berkisar antara 0,05-0,1 ì g/100 g. Pada ikan karang, kandungan toksin
lebih banyak terdapat pada isi perut dibandingkan pada daging ikan. Namun
demikian, kandungan saxitoxin dan okadaic acid pada kerang dan
ikan tersebut masih dibawah ambang yang diijinkan.
ABSTRACT : Research on
biotoxin appearance in biota and waters environment of Teluk Jakarta. By:
Mulyasari, Rosmawaty Peranginangin, Th. Dwi Suryaningrum and Abdul Sari
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Faktor utama pertumbuhan dan
perkembangan fitoplankton adalah ketersediaan zat hara dan sinar matahari.
Sebagai produsen primer, fitoplankton membutuhkan zat hara dalam bentuk senyawa
anorganik, seperti nitrogen dan fosfat. Dalam kondisi zat hara yang berlimpah dan
ditunjang oleh factor lingkungan lain yang optimal, fitoplankton dapat tumbuh
sangat melimpah. Pada perairan eutrof, umumnya ditunjukkan dengan densitas
komunitas fitoplankton yang tinggi, bahkan melampaui rata-rata kondisi eutrofik
yang disebut “blooming fitoplankton” (Basmi, 1994). Terjadinya blooming
fitoplankton mikroskopis yang hidup di lingkungan perairan dapat
menimbulkan dampak negatif. Blooming fitoplankton dapat menyebabkan
kematian ikan akibat kekurangan oksigen, pembusukan atau produksi biotoksin
sepertiPSP (Paralytic Shellfish Poisoning),
iguatera, tetradotoksin, DSP (diarrhetic shellfish poisoning) NSP
(neurotoxic shellfish poisoning),dan ASP (amnesic hellfish poisoning).
Jika manusia mengkonsumsi ikan yang mengandung biotoksin, dapat mengalami
keracunan bahkan kematian. Di samping itu adanya produk perikanan yang
mengandung toksin dapat pula menyebabkan kerugian materi yang sangat besar bagi
petambak dan nelayan. PSP adalah toksin dari
fitoplankton jenisAlexandrium (Protogonyaulax) tamarense, A. catenella,
Pyrodinium bahamense var compressum dan Gymnodium catenatum teidinger, 1996). Menurut Setiapermana
(1992) dan Praseno (2000), jenis Pyrodinium bahamense var compressum,
merupakan jenis dari daerah tropis dengan demikian kemungkinan besar dapat
dijumpai di perairan Indonesia. PSP banyak ditemukan dalam kerang pemakan jenis
fitoplankton dinoflagellata, ditemukan dalam bentuk alkaloid yang bersifat
racun bagi sistem syaraf. Toksin tersebut dikenal dengan nama saxitoxin.
Manusia yang terkena racun saxitoxin enunjukkan
gejalagejala keracunan seperti wajah, bibir, dan lidah terasa terbakar, dan
terus menjalar ke bagian leher, tangan, jari tangan, kaki dan jari kaki, kepala
pening, nyeri otot dan berpeluh. Kemudian timbul mati rasa pada anggota badan
tersebut, serangan jantung dan kegagalan sistem pernafasan. Proses keracunan
ini dapat terjadi dalam waktu 3 sampai 12 jam. Konsentrasi toksin yang dapat menyebabkan keracunan adalah 80
ug/100 gram daging kerang.
DSP disebabkan oleh toksin yang
berasal dari fitoplankton jenis Dinophysis fortii, D. acuminata, Prorocentrum
lima, D. novergica, D.tripos, D. caudata, D. acuta, D. mitra, atau Phalacroma
rotudantum (Steidinger, 1993). Toksin menyebabkan gangguan pencernaan akut
dengan gejala diare, muntah, kejang perut dan kedinginan. Toksin berasal dari
sejenis polycyclic ether seperti asam okadat dan turunannya, pectenotoxin
dan turunannya, dan yessotoxin dan turunannya (Steidinger,1993).
Asam okadat merupakan inhibitor bagi enzim phosphatase 1 dan 2A (PP-1 dan
PP-2A) Setiapermana, 1992). DSP tidak
menyebabkan kematian dan biasanya berangsur sembuh dalam waktu 3-4 hari.
Ciguatera fish poisoning (CFP) umumnya diakibatkan oleh jenis fitoplankton Gambierdiscus
toxicus yang termakan oleh jenis ikan yang hidup di terumbu karang. Gambierdiscus
toxicus mengeluarkan senyawa toksin yang dikenal sebagai ciguatoxin dan
maitotoxin. Senyawa ini kemudian terakumulasi dalam tubuh ikan dan jika
dikonsumsi oleh manusia dapat mengganggu sistem pencernaan sistem syaraf dan sistem peredaran darah.
Gejala keracunannya adalah diare, muntah, nyeri pada bagian perut yang diikuti dengan tidak berfungsinya sistem
syaraf, pening, nyeri otot, berpeluh, mati rasa pada mulut dan jari tangan.
Pada kasus yang serius, gejala ini dapat diikuti dengan kehilangan tenaga dan
kematian.
Terjadinya blooming fitoplankton
atau yang dikenal sebagai red tide di Indonesia belum tercatat dengan
baik. Berbagai peristiwa yang memberikan indikasi bahwa red tide pernah
terjadi di perairan Indonesia (Setiapermana, 1992) adalah di perairan Lampung
(Juli-September 1991), Teluk Jakarta, Sebatik-Kaltim (9 Januari 1988), Ujung
Pandang-SulSel dan Lewotobi- NTT (24 November 1983). Mengingat demikian
berbahayanya senyawa biotoksin yang dapat menyebabkan kematian pada manusia
maka diperlukan penelitian untuk mendapatkan informasi sejauh mana senyawa ini
terdapat di perairan dan biota perairan Indonesia.
Link Download :HPLC (High Performance Liquid Chromatography).doc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar